Kamis, 15 April 2010

terjadinya peristiwa koja berdarah

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tragedi berdarah yang terjadi Rabu (14/4/2010) kemarin, kembali mengungkit luka sejarah atas peristiwa Tanjungpriok 26 tahun silam. Peristiwa kelam ini, hingga kini pun belum terungkap secara jelas.

Berikut hasil penyelidikan Komnas HAM pada tahun 2000 atas peristiwa yang terjadi tahun 1984 tersebut:

Tim Tindak Lanjut Hasil Komisi Penyelidik dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjungpriok

I. PENGANTAR

Laporan ini disusun untuk memenuhi permintaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia kepada Komnas HAM melalui surat Nomor : R-29/E/7/2000 tanggal 11 Juli 2000 untuk melengkapi hasil penyelidikan KP3T mengenai hal-hal sebagai berikut:

-Pemastian jumlah korban (24 orang) dengan melakukan kegiatan penggalian kuburan dan pemeriksaan dokumen di RSPAD Gatot Subroto

-Kelengkapan kesaksian dan bukti tentang jatuhnya korban sebanyak 9 orang (keluarga Tan Keu Lim ) oleh massa.

-Nama-nama yang diduga pelaku dan nama penanggung jawab garis komando ketika peristiwa itu terjadi.

-Perumusan ulang rekomendasi.

Untuk itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam rapat paripurna tanggal 12 Juli 2000 telah memutuskan untuk membentuk Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T yang dilaksanakan dengan Surat Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor : 012/KOMNAS HAM/VII/2000 tanggal 12 Juli 2000 dengan masa tugas selama 3 (tiga) bulan dari tanggal 12 Juli 2000 sampai dengan 12 Oktober 2000.

II. LATAR BELAKANG dan PERISTIWA

Kejadian berawal dari ditahannya empat orang, masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian di bon dan ditahan di Kodim Jakarta Utara.

Pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh, Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, di dalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushola As Sa’adah yang ditahan.

Setelah mengetahui keempat orang tersebut belum dibebaskan pada pukul 23.00, 12 september 1984, Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja.

Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.

1. KORBAN KE RUMAH SAKIT

Dari tempat kejadian, korban diangkut ke RSPAD Gatot Subroto dengan menggunakan truk yang sebelumnya digunakan untuk membawa pasukan. Beberapa korban yang sementara dirawat di Rumah Sakit Koja dan Rumah Sakit Suka Mulia kemudian dievakuasi ke RSPAD Gatot Subroto, sesuai dengan perintah dari Mayjen Try Soetrisno, Pangdam V Jaya yang datang ke tempat kejadian bersama Jenderal LB. Moerdani, Pangab/Pangkopkamtib.

Dari BAP petugas RSPAD Gatot Subroto didapatkan keterangan sebagai berikut:
-Jumlah korban luka yang dirawat adalah 36 orang semuanya dapat disembuhkan. Jumlah korban luka yang diberi pengobatan tetapi tidak dirawat adalah 19 orang.

-Jumlah korban meninggal adalah 23 orang terdiri dari 9 orang dapat dikenali identitasnya dan 14 orang tidak diketahui identitasnya yang dapat dikategorikan sebagai orang hilang.

-Identitas dari 9 jenasah tersebut adalah Amir Biki, Zainal Amran, Kasmoro bin Ji’an, M. Romli, Andi Samsu, Tukimin, Kastori, M. Sidik, Kembar Abdul Kohar.

- Pada tanggal 13 September 1984 dini hari Jenderal LB. Moerdani, Pangab/Pangkopkamtib dan Mayjen Try Soetrisno, Pangdam V Jaya mengunjungi RSPAD Gatot Subroto untuk melihat keadaan korban. Try Soetrisno memerintahkan untuk menguburkan para korban.

2. DARI RSPAD GATOT SOEBROTO KE PEMAKAMAN DAN PENAHANAN

Seluruh korban luka yang dirawat di RSPAD Gatot Subroto setelah sembuh langsung ditahan di Kodim Jakarta Pusat, Laksusda V Jaya, Pomdam V Jaya dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis. Selama dalam penahanan, para korban mengalami penyiksaan.

Salah satu korban tewas yakni Amir Biki diambil oleh keluarga pada dini hari tanggal 13 September 1984 yang selanjutnya dimakamkan di halaman Masjid Al A’raaf, Sukapura, Jakarta Utara. Sementara itu, ke-22 korban lainnya dimakamkan pada malam hari, tanggal 13 September 1984 di Mengkok, Pondok Ranggon dan Condet. Satu korban lainnya bernama Mardani diketemukan oleh massa kemudian diserahkan kepada keluarganya dan dikuburkan di pemakaman Dobo, Jakarta Utara.

III. BUKTI BARU BERKAITAN DENGAN KORBAN MENINGGAL DALAM PERISTIWA TANJUNG PRIOK

1. PROSES DAN HASIL PENGGALIAN

Penggalian pada TPU Mengkok Sukapura langsung dilakukan pada makam-makam yang sudah teridentifikasi melalui nama yang tertera di batu nisan dan keterangan keluarga korban. Makam Kembar Abdul Kohar akhirnya ditemukan, namun makam Kastori dan M. Sidik tidak ditemukan.

Di Pemakaman Wakaf Kramat Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, terdapat 8 makam yang masing-masing berisi satu kerangka, berbeda dengan keterangan awal dari Rohisdam dan Try Soetrisno bahwa yang dikuburkan adalah tujuh orang korban.

Penggalian di TPU Gedong, Condet, Jakarta Timur tidak dapat dilaksanakan, karena tidak ada bukti dan saksi pendukung yang dapat menunjukkan titik letak kuburan dengan pasti.

2. TEMUAN FORENSIK MENGENAI TANDA KEKERASAN DAN SEBAB KEMATIAN

Penilaian keadaan tulang belulang, termasuk penilaian garis-patah lama dan baru, serta pengujian laboratorium atas bercak pewarnaan kehitaman pada tulang-tulang tersebut telah dapat mengidentifikasi cedera tulang yang diakibatkan oleh kekerasan yang terjadi perimortal. Pada jenis patah tulang yang spesifik dan didukung oleh hasil pemeriksaan kandungan elemen-elemen yang berasal dari senjata api pada garis patah tulang atau kerokan tulang pada daerah cedera tersebut, telah dapat mengindikasikan adanya cedera tulang yang diakibatkan oleh senjata api.

Setidaknya 6 korban (4 dari Mengkok dan 2 dari Kramat Ganceng) dapat dipastikan telah memperoleh kekerasan dalam bentuk tembakan senjata api, dengan ciri yang sesuai dengan tembakan senjata api berkecepatan tinggi. Selain itu, terdapat 3 kasus yang mengalami kekerasan, namun jenis kekerasannya tidak dapat dipastikan apakah akibat kekerasan tumpul yang hebat ataukah tembakan senjata api dengan kecepatan tinggi. Terdapat pula 5 kerangka yang memiliki jejas bukan patah tulang yang diduga akibat kekerasan, sehingga tidak ada satu kerangka pun yang tidak menunjukkan kemungkinan adanya kekerasan.

Pemeriksaan dan analisis yang teliti dapat disimpulkan bahwa empat kerangka dipastikan mati akibat tembakan senjata api, tiga kerangka mati akibat kekerasan tumpul atau tembakan senjata api, satu kerangka mati akibat kekerasan tumpul, dan enam lainnya tidak dapat dipastikan penyebab kematiannya.

c. KESAKSIAN KELUARGA KORBAN TAN KEU LIM

Delapan orang keluarga Tan Keu Lim beserta satu orang pembantunya tewas terbakar di rumah. Mengenai hal tersebut telah diperoleh kesaksian dan bukti-bukti baru berupa satu buah Kartu Keluarga milik keluarga Tan Keu Lim (terlampir) serta kesaksian ketua RT 001/007 Kelurahan Koja Selatan Jakarta Utara dan kesaksian dari keluarga Tan Keu Lim yang masih hidup.

d. PEMERIKSAAN DOKUMEN RSPAD GATOT SUBROTO

Rekaman medik korban Tanjung Priok dinyatakan telah dimusnahkan oleh pihak RSPAD Gatot Subroto karena telah memenuhi batas waktu lima tahun. Namun berita acara pemusnahan dokumen dimaksud tidak dapat diberikan oleh pihak RSPAD Gatot Subroto dengan alasan tidak dapat ditemukan lagi.

IV. PELAKU DAN PENANGGUNG JAWAB

Regu yang melakukan penembakan dipimpin oleh Serda Sutrisno Mascung. Regu ini adalah bagian dari peleton yang dipimpin oleh Kapten Sriyanto dan berada di bawah perintah Dandim Jakarta Utara. Sedangkan Dandim tersebut berada dibawah perintah Pangdam V Jaya, yang selanjutnya berada dibawah perintah Panglima ABRI.

Mengacu kepada prinsip-prinsip command responbility, maka ada dua aspek tindakan yang diabaikan aparat militer sebagai pelaku dan penanggung jawab peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok, yakni aspek secara langsung melakukan tindakan yang tidak mematuhi prosedur baku sebagaimana peristiwa yang terjadi di lapangan dan tidak diambilnya tindakan-tindakan yang dapat mencegah terjadinya peristiwa tersebut, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan jabatan yang diembannya sebagai komandan sesuai dengan jenjang komando.

Aspek yang pertama itu menyangkut antara lain sikap dan tindakan dengan menghilangkan barang bukti, melakukan penyiksaan-penyiksaan, serta sejumlah tindakan teror serta intimidasi terhadap para korbannya. Sedangkan aspek yang kedua antara lain menyangkut kelalaian aparat yang tidak dapat mengendalikan pasukannya.

V. KATEGORI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG TERJADI

1. Pembunuhan secara kilat (summary killing)

Tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto.


2. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention)

Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis.

3. Penyiksaan (Torture)

Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.

4. Penghilangan orang secara paksa (Enforced or involuntary disappearance)

Penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama; menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua; menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.

VI. KESIMPULAN

Dari uraian tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan :

1. Tentang jumlah korban

Pemastian jumlah korban pembunuhan secara kilat sebanyak 24 orang dilakukan dengan penggalian kuburan, pemeriksaan dokumen RSPAD Gatot Subroto dan usaha mencari saksi-saksi tambahan.

Dari hasil penggalian di TPU Mengkok, Sukapura dan Pemakaman Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan jumlah korban yang telah dikuburkan di halaman Masjid Al A’raaf, bekas makam Dobo, TPU Mengkok, Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dan TPU Gedong, Condet sebanyak 24 orang kemungkinan besar benar adanya, walaupun ada selisih jumlah korban yang dimakamkan di Pondok Ranggon.

Jumlah yang pasti dari korban tak dapat diberikan kualifikasi final, karena RSPAD Gatot Subroto akhirnya mengakui bahwa dokumen Berita Acara Pemusnahan Dokumen korban peristiwa Tanjung Priok tidak ditemukan. Sedangkan informasi lain tentang adanya korban jiwa selain 24 orang tidak dapat diklarifikasi karena tidak ditemukan bukti dan saksi tambahan.

Korban terbakar

Keluarga Tan Keu Lim (9 orang) di Apotik Tanjung yang sekaligus merupakan tempat tinggal korban meninggal karena tidak dapat menyelamatkan diri dari kebakaran Apotik Tanjung. Kebakaran ini diduga keras dilakukan oleh rombongan massa yang bergerak ke arah Polsek Koja.


2. Tentang nama para pelaku dan penanggungjawab yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pelaku atas seluruh pelanggaran tersebut diatas bisa dilihat dalam tiga kategori.

Pertama adalah pelaku di lapangan yang menggunakan kekerasan yang berlebihan sehingga jatuh korban meninggal dan luka-luka. Mereka yang melakukan penyiksaan kepada korban yang masih hidup.

Kedua adalah penanggung jawab komando operasional yaitu komandan yang membawahi teritorial di tingkat Kodim dan Polres tidak mampu mengantisipasi keadaan dan mengendalikan pasukan sehingga terjadi tindakan summary killing, tindakan penyiksaan dan terlibat aktif dalam penghilangan barang bukti dan identitas korban serta membiarkan terjadinya penyiksaan-penyiksaan dalam tahanan, dan memerintahkan penguburan tanpa prosedur resmi.

Ketiga adalah para pemegang komando yang tidak mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia dan atau memerintahkan secara langsung satu tindakan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut

Dengan tiga kategori pelaku dan atau penanggungjawab di atas maka dalam pelanggaran hak asasi manusia di Tanjung Priok ini diduga terlibat terutama tapi tidak terbatas pada nama-nama dibawah ini:

Dari Satuan Arhanud Tanjung Priok :
Serda Sutrisno Mascung
Pratu Yajit
Prada Siswoyo
Prada Asrori
Prada Kartijo
Prada Zulfata
Prada Muhson
Prada Abdul Halim
Prada Sofyan Hadi
Prada Parnu
Prada Winarko
Prada Idrus
Prada Sumitro
Prada Prayogi

Dari Jajaran Kodim Jakarta Utara :
Letkol. RA. Butar-Butar, Dandim Jakarta Utara
Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara

Dari Jajaran Kodam V Jaya :
Mayjen TNI Try Soetrisno, Pangdam V Jaya
Kol. CPM Pranowo, Kapomdam V Jaya
Kapten Auha Kusin, BA, Rohisdam V Jaya
Kapten Mattaoni, BA, Rohisdam V Jaya

Dari Jajaran Mabes TNI AD :
Brigjen TNI Dr. Soemardi, Kepala RSPAD Gatot Soebroto
Mayor TNI Darminto, Bagpam RSPAD GATOT SOEBROTO

Dari Mabes ABRI :
Jenderal TNI L. Benny Moerdani, Panglima ABRI / Pangkopkamtib


Telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia atas keluarga Tan Keu

Lim walaupun belum didapatkan bukti pendukung untuk menyebut siapa nama mereka.

Tentang rekomendasi
a. Para Pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat harus dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku.

b. Untuk mewujudkan tanggungjawab negara khususnya pemerintah terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia, maka :

Pemerintah meminta maaf terhadap korban/keluarga korban dan masyarakat luas atas terjadinya Peristiwa Tanjung Priok.

Merehabilitasi nama baik para korban

Memberikan kompensasi yang layak kepada korban/keluarga korban

Korban yang sampai sekarang belum berhasil ditemukan harus tetap dinyatakan sebagai orang hilang. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk menemukan korban dan mengembalikannya kepada keluarga yang bersangkutan.

Untuk mencegah keterulangan (non-recurence) pelanggaran hak asasi manusia seperti dalam Peristiwa Tanjung Priok di masa depan maka berbagai kebijakan dan tindakan harus diambil untuk :

Meningkatkan profesionalisme anggota TNI dari jajaran pimpinan sampai anggota dengan pangkat terendah, melalui pendidikan dan latihan termasuk bidang hak asasi manusia.

Meningkatkan pengawasan yang intensip terhadap pelaksanaan instruksi dan prosedur tetap pelaksanaan tugas TNI yang menjunjung tinggi penghormatan hak asasi manusia.

Dengan sungguh-sungguh melakukan penertiban atas kewajiban-kewajiban pejabat publik atas dokumen dan arsip yang menyangkut kepentingan publik.

Mengajak masyarakat meninggalkan praktek-praktek penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasi politik.

Menata kembali wacana kehidupan keagamaan, sehingga ajaran agama benar-benar membawa rahmat bagi seluruh alam, dan terjaminnya rasa aman dan bebas bagi seluruh umat beragama melaksanakan ibadahnya.

tradisi budaya betawi

Istilah Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.

Sejarah

Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.

Suku Betawi

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.

Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Seni dan kebudayaan

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Tokoh Betawi

Benyamin Sueb, seniman Betawi legendaris.